Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan (Prodi PSP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura (FPIK Unpatti) memperoleh akreditasi unggul.
Akreditasi Unggul yang akan berlaku selama lima tahun ini diberikan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) berdasarkan Surat Keputusan Direktur Dewan Eksekutif BAN-PT Nomor: 447/SK/BAN-PT/Ak/S/II/2023, dan ditandatangani oleh Prof. Ari Pubayanti, Ph.D tertanggal 14 Februari 2023.
Ketua Program Studi (Kaprodi) PSP, Dr. Haruna, S.Pi, M.Si yang dihubungi Malukunews.co, Jumat (17/02), pagi mengatakan, ia sangat menyambut baik atas capaian prodinya ini. “Keberhasilan kami memperoleh akreditasi unggul ini karena atas kerja keras seluruh teman-teman yang ada di prodi,” ujar Haruna singkat.
Selain kerja keras seluruh kawan-kawan prodi dan juga dukungan dari fakultas, saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Kaprodi sebelumnya, Dr. Ruslan Tawari, S.Pi, M.Si, yang telah bekerja keras untuk menghadirkan akreditasi unggul ini. “Akreditasi unggul ini merupakan hadiah dari kaprodi lama kepada saya selaku kaprodi yang baru. Dan ini menjadi tantangan kami untuk mempertahankannya lima tahun berikutnya,” ujar Haruna merenda. (Qin)
https://malukunews.co/berita/seribu-pulau/13tv42dc1lqhqa/prodi-psp-fpik-unpatti-peroleh-akreditasi-unggul
Kategori: Berita
Nelayan Maluku Keberatan, Penangkapan Terukur Dinilai Melanggengkan Monopoli Pemilik Modal
DOBO, KOMPAS — Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam menerapkan kebijakan penangkapan terukur dinilai semata-mata hanya kamuflase untuk melanggengkan monopoli pemilik modal dalam usaha perikanan tangkap. Kelompok nelayan juga meragukan komitmen pemerintah dalam memberdayakan nelayan skala kecil pascapemberlakuan kebijakan tersebut.
Menurut rencana, kebijakan itu mulai diterapkan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI 718 di Laut Arafura yang memiliki potensi sumber daya ikan tertinggi di Indonesia, yakni 2,64 juta ton per tahun atau 21 persen dari total stok ikan nasional. Laut Arafura terbentang dari Provinsi Maluku hingga Provinsi Papua.
Yanto Sogalrey (38), nelayan Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, lewat sambungan telepon pada Rabu (31/8/2022) mengatakan, Laut Arafura akan kembali dikuasai korporasi besar sama seperti sebelum era akhir 2014. Ketika Presiden Joko Widodo mulai memerintah, dengan dibantu Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, praktik kejahatan perikanan di Laut Arafura diberantas.
”Penangkapan terukur ini seperti angin segar bagi korporasi perikanan. Dengan mengantongi izin kontrak kuota dari pemerintah pusat, mereka akan menguasai perairan Laut Arafura. Mereka akan mengeruk kembali sumber daya di sini. Lihat saja ke depan nanti seperti apa. Pasti lebih buruk,” katanya.
TANGKAPAN LAYAR Laut Arafura
Menurut dia, kebijakan penangkapan terukur merupakan bentuk keberpihakan pemerintah kepada pemodal besar. Ini bukti bahwa pemerintah tidak memperhatikan nelayan kecil yang selama ini kesulitan memanfaatkan potensi ikan setempat. Banyak nelayan lokal tidak memiliki alat tangkap atau perahu motor sendiri.
”Pertanyaan sekarang, lalu apa yang didapat masyarakat lokal sementara pemerintah lebih berpikir untuk urusan pemodal besar? Banyak nelayan kecil di sini yang hidupnya miskin di tengah sumber daya ikan Laut Arafura yang sangat kaya. Sungguh ironis,” ucap Yanto.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, dalam rapat kerja Komisi IV DPR pada Selasa (30/8/2022), Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota telah disiapkan secara komprehensif. Hasil penangkapan ikan terukur dinilai akan mendongkrak pendapatan negara bukan pajak yang hasilnya akan dialokasikan untuk mengangkat kesejahteraan nelayan Indonesia.
Menurut Sakti, sebagian besar nelayan Indonesia yang berjumlah 2,2 juta orang hingga kini belum sejahtera. Program mendorong kesejahteraan nelayan dinilai sulit jika hanya mengandalkan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pagu anggaran kementerian tersebut tahun 2023 sebesar Rp 6,76 triliun atau 0,0068 persen dari alokasi belanja seluruh kementerian dan lembaga, yakni sebesar Rp 993,2 triliun (Kompas, 31/8/2022).
Nelayan meragukan
Ikan-ikan didaratkan di Pelabuhan Pendaratan Pantai Eri, Kota Ambon, Maluku, pada Jumat (17/4/2020).
John Ghite (45), nelayan, meragukan komitmen pemerintah untuk memberdayakan nelayan miskin, termasuk dirinya. Pasalnya, komitmen semacam itu sudah kerap kali diucapkan oleh pemerintah kabupaten, provinsi, dan pemerintah pusat. ”Saya sudah ajukan proposal bantuan perahu motor sudah berulang kali tapi tidak ada hasilnya,” ujarnya memberi contoh.
Menurut dia, pemerintah seharusnya terlebih dahulu menunjukkan perhatian serius kepada nelayan kecil, terutama di daerah penghasil ikan seperti Kepulauan Aru. Dengan begitu, ketika ada kebijakan seperti pemberian kuota kepada korporasi besar, akan kurang mendapat penolakan dari masyarakat. Saat ini, mayoritas nelayan lokal menolak kebijakan tersebut.
Sementara itu, pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon, Ruslan Tawari, berpendapat, pemberian kontrak kuota pada korporasi dapat dikatakan sebagai bentuk jual beli terhadap sumber daya alam antara pemerintah dan korporasi. Dengan memegang kontrak, korporasi berhak penuh atas potensi sumber daya alam di laut.
”Padahal Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan, sumber daya alam itu dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bukan untuk kemakmuran pemilik modal dan oknum-oknum yang mencari keuntungan. Pemberian kontrak ini sebagai preseden buruk dalam pengelolaan perikanan di Indonesia,” kata Ruslan.
Oleh: FRANSISKUS PATI HERIN | Sumber: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2022/08/31/penangkapan-terukur-melanggengkan-monopoli-pemilik-modal , beritaloka
Penangkapan Ikan secara Ilegal Berpotensi Terjadi Saat Kebijakan Penangkapan Terukur Diterapkan
AMBON, KOMPAS — Kebijakan penangkapan terukur yang digagas Kementerian Kelautan dan Perikanan dinilai berpotensi menghadirkan kembali praktik penangkapan ikan secara ilegal, tidak terlapor, dan tidak sesuai regulasi atau IUU fishing. Penataan sistem perikanan Indonesia yang bebas dari kejahatan selama lebih kurang 8 tahun terakhir, sejak era Presiden Joko Widodo berkuasa, dikahawatirkan bakal sia-sia.
Kekhawatiran akan terulangnya praktik IUU fishing itu diutarakan pengamat kebijakan perikanan, Ruslan Tawari, lewat sambungan telepon, Jumat (2/9/2022). Ruslan juga sebagai peneliti dan pengajar pada Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan Universitas Pattimura Ambon, Maluku.
Menurut dia, pemberian kontrak kuota oleh pemerintah membuat korporasi sangat berkuasa penuh di laut. Korporasi, yang berorientasi pada keuntungan, akan mengeruk sebanyak mungkin sumber daya laut selama masa kontrak. Tidak tertutup kemungkinan bakal terjadi penangkapan melebihi kuota yang disepakati dalam kontrak.
”Siapa yang menjamin bahwa jumlah ikan yang mereka ambil itu akan sesuai dengan kuota yang ditentukan dalam kontrak? Ini terjadi di laut yang jauh dari pantauan. Kalau di darat mungkin bisa diawasi. Oleh karena itu, kebijakan penangkapan terukur membuka peluang terjadinya IUU fishing,” ucapnya.
Sejumlah 242 anak buah kapal (ABK) asal Myanmar dan Kamboja di PT Pusaka Benjina Resources, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, diangkut dengan feri ke Tual, Maluku, untuk proses pemulangan ke negara asal, Selasa (19/5/2015). Para ABK asing ini menjadi korban perbudakan.
Ruslan juga meragukan komitmen pengawasan dari pemerintah. Dari penilaiannya, pengawasan yang dilakukan selama ini tidak berjalan efektif dan penuh dengan praktik kolusi, korupsi dan nepotisme.
Ia mencontohkan terjadinya perbudakan nelayan asing di Pulau Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, yang baru terbongkar pada 2015. Padahal, di lokasi perusahaan itu ada aparat penegak hukum dan keamanan dari sejumlah instansi yang bertugas di sana, serta ada perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
”Melihat catatan masa lalu, logika publik sangat sulit diajak untuk menyetujui penangkapan terukur yang didesain khusus untuk korporasi perikanan skala besar,” ujarnya.
Menurut rencana, penangkapan terukur pertama kali diterapkan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI 718 yang meliputi Laut Arafura dan sekitarnya. Wilayah dimaksud membentang dari Kepulauan Aru di bagian tenggara Maluku hingga Merauke, Asmat, dan Mimika di bagian selatan Papua.
Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat, Laut Arafura memiliki potensi sumber daya ikan tertinggi di Indonesia, yakni 2,64 juta ton per tahun atau 21 persen dari total stok ikan nasional. Perairan itu kaya akan udang, ikan karang, dan ikan pelagis besar.
Aksi mimbar bebas menanggapi rencana pelaksanaan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan mengenai penangkapan terukur di Laut Aru dan Laut Arafura. Aksi itu berlangsung di Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, Selasa (15/3/2022).
Seperti yang diberitakan sebelumnya, dalam rapat kerja Komisi IV DPR pada Selasa (30/8), Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota telah disiapkan secara komprehensif. Hasil penangkapan ikan terukur dinilai akan mendongkrak pendapatan negara bukan pajak yang hasilnya akan dialokasikan untuk mengangkat kesejahteraan nelayan Indonesia.
Menurut Sakti, sebagian besar nelayan Indonesia yang berjumlah 2,2 juta orang hingga kini belum sejahtera. Program mendorong kesejahteraan nelayan dinilai sulit jika hanya mengandalkan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pagu anggaran kementerian tersebut tahun 2023 sebesar Rp 6,76 triliun atau 0,0068 persen dari alokasi belanja seluruh kementerian dan lembaga, yakni sebesar Rp 993,2 triliun (Kompas, 31/8/2022).
Nelayan budidaya
Di saat pemerintah berambisi mengimplementasikan penangkapan terukur untuk korporasi besar, banyak nelayan di daerah penghasil ikan malah belum tersentuh program pemberdayaan. Mereka adalah nelayan tangkap dan budidaya. Mereka berjuang dengan peralatan seadanya. Di Maluku terdapat lebih kurang 120.000 rumah tangga nelayan.
Matu (34), pembudidaya rumput laut di Pulau Lirang, Kabupaten Maluku Barat Daya, menuturkan, banyak masyarakat tidak mampu membeli tali dan bibit rumput laut. Padahal, pesisir pulau itu cocok untuk budidaya rumput laut.
”Apalagi, sekarang harga rumput laut kering lagi naik, sekitar Rp 30.000 per kilogram,” ujarnya.
Warga membersihkan rumput laut yang baru saja dipanen di Pulau Lirang, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, Juli 2022.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, produksi rumput laut di Maluku pada 2021 mencapai 71.928 ton. Produksi terbanyak dari Kabupaten Kepulauan Tanimbar sebanyak 34.573 ton, kemudian Maluku Tenggara 16.799 ton, dan Maluku Barat Daya 14.778.
Produksi rumput laut masih bisa ditingkatkan. Hal ini karena ruang pesisir di Maluku yang sudah dimanfaatkan untuk sektor budidaya masih minim. Dari total 183.064 hektar potensi yang ada, baru 7.544 hektar atau 4,12 persen di antaranya yang digarap. Itu pun untuk keseluruhan usaha budidaya, mulai dari udang, keramba ikan, hingga rumput laut.
Oleh: FRANSISKUS PATI HERIN | Sumber: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2022/09/02/iuu-fishing-berpotensi-terjadi-dalam-penangkapan-terukur?status=sukses_login&status_login=login
Laut Arafura Dilelang kepada Pemodal, Warga Maluku Protes
AMBON, KOMPAS – Pemerintah menerapkan kebijakan penangkapan terukur dengan hanya mengizinkan perusahan pemegang kontrak menguasai wilayah penangkapan tertentu. Wilayah Pengelolaan Perikanan RI 718, termasuk Laut Arafura, menjadi sasaran. Masyarakat Maluku protes terhadap kebijakan yang dianggap sebagai pelelangan sumber daya laut bagi para pemodal itu. Nelayan lokal otomatis tergusur.
”Ini namanya Laut Arafura dilelang kepada kelompok pemilik modal dan mereka mengontrak perairan itu dalam kurun waktu tertentu. Hanya mereka yang boleh menangkap ikan di sana. Ini bukan kebijakan yang baik di negara maritim ini,” kata Ruslan Tawari, pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon, Maluku, lewat sambungan telepon pada Minggu (13/3/2022).
Menurut dia, pengaplingan wilayah penangkapan bagi perusahaan tertentu menutup ruang bagi nelayan lokal yang ingin beroperasi di sana. Selama ini nelayan lokal menggantungkan hidup mereka pada sektor perikanan tangkap. Untuk wilayah Maluku, daerah yang bersinggungan dengan Laut Arafura adalah Kabupaten Kepulauan Aru hingga Kepulauan Tanimbar.
Selain menggusur nelayan lokal, perusahaan pemegang kontrak berpotensi melakukan penangkapan berlebihan selesai masa kontrak. Bakal terjadi degrasi sumber daya perikanan di sana dengan kondisi sangat parah. Pemulihan ekosistem akan membutuhkan waktu lama dan yang menjadi korban adalah masyarakat lokal.
Ketua Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon Ruslan Tawari
”Perusahaan pemegang kontrak pasti akan mengeruk sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Sebab, perusahaan berpikir bahwa mereka sudah membayar triliunan rupiah kepada negara. Sulit juga bagi aparat keamanan untuk bisa mengontrol para pemodal besar itu,” ujarnya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus mempromosikan peluang investasi penangkapan ikan melalui sistem kontrak untuk industri perikanan. Total kuota penangkapan ikan yang ditawarkan untuk industri mencapai 5,99 juta ton per tahun dengan perkiraan nilai ekonomi Rp 180 triliun. Salah satu zona adalah Laut Arafura di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI 718.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi mengemukakan, sejauh ini pelaku industri yang sedang menjajaki sistem kontrak penangkapan ikan pada empat zona industri perikanan berjumlah 20 perusahaan. Kuota penangkapan yang diminta berkisar 4 juta ton. ”Kuota yang ditawarkan kepada setiap pelaku usaha perikanan minimal 100.000 ton per tahun,” kata Zaini, Kompas (19/2/2022).
Callin Leppuy, tokoh pemuda dari Kabupaten Kepulauan Aru, menyatakan, pihaknya menolak rencana perikanan terpadu itu. Menurut dia, kebijakan itu tidak berpihak pada masyarakat lokal yang selama ini mendambakan hidup sejahtera dari sektor perikanan. Kenyataan, hampir semua nelayan di Kepulauan Aru hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka belum diberdayakan untuk mengelola potensi perikanan setempat.
Ilustrasi: Kapal yang berlabuh di perairan sekitar Pulau Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, Rabu (1/4/2015).
Di sisi lain, selama bertahun-tahun, Laut Arafura dieksploitasi dan menjadi surga penangkapan ikan secara ilegal, tidak terlapor, dan tidak sesuai regulasi (illegal, unreported and unregulated/IUU fishing). Bahkan, tahun 2015, terbongkar praktik perbudakan nelayan di Pulau Benjina, Kepulauan Aru. ”Sayang sekali negara lebih berpihak pada pemilik modal,” ucapnya.
Menurut data KKP, WPP RI 718 memiliki potensi sumber daya ikan terbanyak dari 11 WPP RI di negara ini. Tahun 2021, jumlah produksi ikan dari WPP RI tersebut mencapai 1,7 juta ton. Jenis ikan yang ada di sana seperti pelagis, demersal, ikan karang, udang, lobster, dan cumi-cumi.
Oleh: FRANSISKUS PATI HERIN | Sumber: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2022/03/13/laut-arafura-dilelang-kepada-pemodal-warga-maluku-protes