Nelayan Maluku Keberatan, Penangkapan Terukur Dinilai Melanggengkan Monopoli Pemilik Modal

Poli Pikaem (50), nelayan asal Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, menyiapkan perahu dayung untuk melaut pada Rabu (16/3/2022) petang.

DOBO, KOMPAS — Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam menerapkan kebijakan penangkapan terukur dinilai semata-mata hanya kamuflase untuk melanggengkan monopoli pemilik modal dalam usaha perikanan tangkap. Kelompok nelayan juga meragukan komitmen pemerintah dalam memberdayakan nelayan skala kecil pascapemberlakuan kebijakan tersebut.
Menurut rencana, kebijakan itu mulai diterapkan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI 718 di Laut Arafura yang memiliki potensi sumber daya ikan tertinggi di Indonesia, yakni 2,64 juta ton per tahun atau 21 persen dari total stok ikan nasional. Laut Arafura terbentang dari Provinsi Maluku hingga Provinsi Papua.
Yanto Sogalrey (38), nelayan Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, lewat sambungan telepon pada Rabu (31/8/2022) mengatakan, Laut Arafura akan kembali dikuasai korporasi besar sama seperti sebelum era akhir 2014. Ketika Presiden Joko Widodo mulai memerintah, dengan dibantu Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, praktik kejahatan perikanan di Laut Arafura diberantas.
”Penangkapan terukur ini seperti angin segar bagi korporasi perikanan. Dengan mengantongi izin kontrak kuota dari pemerintah pusat, mereka akan menguasai perairan Laut Arafura. Mereka akan mengeruk kembali sumber daya di sini. Lihat saja ke depan nanti seperti apa. Pasti lebih buruk,” katanya.

TANGKAPAN LAYAR Laut Arafura

Menurut dia, kebijakan penangkapan terukur merupakan bentuk keberpihakan pemerintah kepada pemodal besar. Ini bukti bahwa pemerintah tidak memperhatikan nelayan kecil yang selama ini kesulitan memanfaatkan potensi ikan setempat. Banyak nelayan lokal tidak memiliki alat tangkap atau perahu motor sendiri.
”Pertanyaan sekarang, lalu apa yang didapat masyarakat lokal sementara pemerintah lebih berpikir untuk urusan pemodal besar? Banyak nelayan kecil di sini yang hidupnya miskin di tengah sumber daya ikan Laut Arafura yang sangat kaya. Sungguh ironis,” ucap Yanto.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, dalam rapat kerja Komisi IV DPR pada Selasa (30/8/2022), Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota telah disiapkan secara komprehensif. Hasil penangkapan ikan terukur dinilai akan mendongkrak pendapatan negara bukan pajak yang hasilnya akan dialokasikan untuk mengangkat kesejahteraan nelayan Indonesia.
Menurut Sakti, sebagian besar nelayan Indonesia yang berjumlah 2,2 juta orang hingga kini belum sejahtera. Program mendorong kesejahteraan nelayan dinilai sulit jika hanya mengandalkan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pagu anggaran kementerian tersebut tahun 2023 sebesar Rp 6,76 triliun atau 0,0068 persen dari alokasi belanja seluruh kementerian dan lembaga, yakni sebesar Rp 993,2 triliun (Kompas, 31/8/2022).

Nelayan meragukan

Ikan-ikan didaratkan di Pelabuhan Pendaratan Pantai Eri, Kota Ambon, Maluku, pada Jumat (17/4/2020).

John Ghite (45), nelayan, meragukan komitmen pemerintah untuk memberdayakan nelayan miskin, termasuk dirinya. Pasalnya, komitmen semacam itu sudah kerap kali diucapkan oleh pemerintah kabupaten, provinsi, dan pemerintah pusat. ”Saya sudah ajukan proposal bantuan perahu motor sudah berulang kali tapi tidak ada hasilnya,” ujarnya memberi contoh.
Menurut dia, pemerintah seharusnya terlebih dahulu menunjukkan perhatian serius kepada nelayan kecil, terutama di daerah penghasil ikan seperti Kepulauan Aru. Dengan begitu, ketika ada kebijakan seperti pemberian kuota kepada korporasi besar, akan kurang mendapat penolakan dari masyarakat. Saat ini, mayoritas nelayan lokal menolak kebijakan tersebut.
Sementara itu, pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon, Ruslan Tawari, berpendapat, pemberian kontrak kuota pada korporasi dapat dikatakan sebagai bentuk jual beli terhadap sumber daya alam antara pemerintah dan korporasi. Dengan memegang kontrak, korporasi berhak penuh atas potensi sumber daya alam di laut.
”Padahal Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan, sumber daya alam itu dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bukan untuk kemakmuran pemilik modal dan oknum-oknum yang mencari keuntungan. Pemberian kontrak ini sebagai preseden buruk dalam pengelolaan perikanan di Indonesia,” kata Ruslan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *