Penangkapan Ikan secara Ilegal Berpotensi Terjadi Saat Kebijakan Penangkapan Terukur Diterapkan

AMBON, KOMPAS — Kebijakan penangkapan terukur yang digagas Kementerian Kelautan dan Perikanan dinilai berpotensi menghadirkan kembali praktik penangkapan ikan secara ilegal, tidak terlapor, dan tidak sesuai regulasi atau IUU fishing. Penataan sistem perikanan Indonesia yang bebas dari kejahatan selama lebih kurang 8 tahun terakhir, sejak era Presiden Joko Widodo berkuasa, dikahawatirkan bakal sia-sia.
Kekhawatiran akan terulangnya praktik IUU fishing itu diutarakan pengamat kebijakan perikanan, Ruslan Tawari, lewat sambungan telepon, Jumat (2/9/2022). Ruslan juga sebagai peneliti dan pengajar pada Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan Universitas Pattimura Ambon, Maluku.
Menurut dia, pemberian kontrak kuota oleh pemerintah membuat korporasi sangat berkuasa penuh di laut. Korporasi, yang berorientasi pada keuntungan, akan mengeruk sebanyak mungkin sumber daya laut selama masa kontrak. Tidak tertutup kemungkinan bakal terjadi penangkapan melebihi kuota yang disepakati dalam kontrak.
”Siapa yang menjamin bahwa jumlah ikan yang mereka ambil itu akan sesuai dengan kuota yang ditentukan dalam kontrak? Ini terjadi di laut yang jauh dari pantauan. Kalau di darat mungkin bisa diawasi. Oleh karena itu, kebijakan penangkapan terukur membuka peluang terjadinya IUU fishing,” ucapnya.

Sejumlah 242 anak buah kapal (ABK) asal Myanmar dan Kamboja di PT Pusaka Benjina Resources, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, diangkut dengan feri ke Tual, Maluku, untuk proses pemulangan ke negara asal, Selasa (19/5/2015). Para ABK asing ini menjadi korban perbudakan.

Ruslan juga meragukan komitmen pengawasan dari pemerintah. Dari penilaiannya, pengawasan yang dilakukan selama ini tidak berjalan efektif dan penuh dengan praktik kolusi, korupsi dan nepotisme.
Ia mencontohkan terjadinya perbudakan nelayan asing di Pulau Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, yang baru terbongkar pada 2015. Padahal, di lokasi perusahaan itu ada aparat penegak hukum dan keamanan dari sejumlah instansi yang bertugas di sana, serta ada perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
”Melihat catatan masa lalu, logika publik sangat sulit diajak untuk menyetujui penangkapan terukur yang didesain khusus untuk korporasi perikanan skala besar,” ujarnya.
Menurut rencana, penangkapan terukur pertama kali diterapkan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI 718 yang meliputi Laut Arafura dan sekitarnya. Wilayah dimaksud membentang dari Kepulauan Aru di bagian tenggara Maluku hingga Merauke, Asmat, dan Mimika di bagian selatan Papua.
Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat, Laut Arafura memiliki potensi sumber daya ikan tertinggi di Indonesia, yakni 2,64 juta ton per tahun atau 21 persen dari total stok ikan nasional. Perairan itu kaya akan udang, ikan karang, dan ikan pelagis besar.

Aksi mimbar bebas menanggapi rencana pelaksanaan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan mengenai penangkapan terukur di Laut Aru dan Laut Arafura. Aksi itu berlangsung di Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, Selasa (15/3/2022).

Seperti yang diberitakan sebelumnya, dalam rapat kerja Komisi IV DPR pada Selasa (30/8), Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota telah disiapkan secara komprehensif. Hasil penangkapan ikan terukur dinilai akan mendongkrak pendapatan negara bukan pajak yang hasilnya akan dialokasikan untuk mengangkat kesejahteraan nelayan Indonesia.
Menurut Sakti, sebagian besar nelayan Indonesia yang berjumlah 2,2 juta orang hingga kini belum sejahtera. Program mendorong kesejahteraan nelayan dinilai sulit jika hanya mengandalkan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pagu anggaran kementerian tersebut tahun 2023 sebesar Rp 6,76 triliun atau 0,0068 persen dari alokasi belanja seluruh kementerian dan lembaga, yakni sebesar Rp 993,2 triliun (Kompas, 31/8/2022).

Nelayan budidaya

Di saat pemerintah berambisi mengimplementasikan penangkapan terukur untuk korporasi besar, banyak nelayan di daerah penghasil ikan malah belum tersentuh program pemberdayaan. Mereka adalah nelayan tangkap dan budidaya. Mereka berjuang dengan peralatan seadanya. Di Maluku terdapat lebih kurang 120.000 rumah tangga nelayan.
Matu (34), pembudidaya rumput laut di Pulau Lirang, Kabupaten Maluku Barat Daya, menuturkan, banyak masyarakat tidak mampu membeli tali dan bibit rumput laut. Padahal, pesisir pulau itu cocok untuk budidaya rumput laut.
”Apalagi, sekarang harga rumput laut kering lagi naik, sekitar Rp 30.000 per kilogram,” ujarnya.

Warga membersihkan rumput laut yang baru saja dipanen di Pulau Lirang, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, Juli 2022.

Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, produksi rumput laut di Maluku pada 2021 mencapai 71.928 ton. Produksi terbanyak dari Kabupaten Kepulauan Tanimbar sebanyak 34.573 ton, kemudian Maluku Tenggara 16.799 ton, dan Maluku Barat Daya 14.778.
Produksi rumput laut masih bisa ditingkatkan. Hal ini karena ruang pesisir di Maluku yang sudah dimanfaatkan untuk sektor budidaya masih minim. Dari total 183.064 hektar potensi yang ada, baru 7.544 hektar atau 4,12 persen di antaranya yang digarap. Itu pun untuk keseluruhan usaha budidaya, mulai dari udang, keramba ikan, hingga rumput laut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *