AMBON, KOMPAS – Pemerintah menerapkan kebijakan penangkapan terukur dengan hanya mengizinkan perusahan pemegang kontrak menguasai wilayah penangkapan tertentu. Wilayah Pengelolaan Perikanan RI 718, termasuk Laut Arafura, menjadi sasaran. Masyarakat Maluku protes terhadap kebijakan yang dianggap sebagai pelelangan sumber daya laut bagi para pemodal itu. Nelayan lokal otomatis tergusur.
”Ini namanya Laut Arafura dilelang kepada kelompok pemilik modal dan mereka mengontrak perairan itu dalam kurun waktu tertentu. Hanya mereka yang boleh menangkap ikan di sana. Ini bukan kebijakan yang baik di negara maritim ini,” kata Ruslan Tawari, pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon, Maluku, lewat sambungan telepon pada Minggu (13/3/2022).
Menurut dia, pengaplingan wilayah penangkapan bagi perusahaan tertentu menutup ruang bagi nelayan lokal yang ingin beroperasi di sana. Selama ini nelayan lokal menggantungkan hidup mereka pada sektor perikanan tangkap. Untuk wilayah Maluku, daerah yang bersinggungan dengan Laut Arafura adalah Kabupaten Kepulauan Aru hingga Kepulauan Tanimbar.
Selain menggusur nelayan lokal, perusahaan pemegang kontrak berpotensi melakukan penangkapan berlebihan selesai masa kontrak. Bakal terjadi degrasi sumber daya perikanan di sana dengan kondisi sangat parah. Pemulihan ekosistem akan membutuhkan waktu lama dan yang menjadi korban adalah masyarakat lokal.
Ketua Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon Ruslan Tawari
”Perusahaan pemegang kontrak pasti akan mengeruk sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Sebab, perusahaan berpikir bahwa mereka sudah membayar triliunan rupiah kepada negara. Sulit juga bagi aparat keamanan untuk bisa mengontrol para pemodal besar itu,” ujarnya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus mempromosikan peluang investasi penangkapan ikan melalui sistem kontrak untuk industri perikanan. Total kuota penangkapan ikan yang ditawarkan untuk industri mencapai 5,99 juta ton per tahun dengan perkiraan nilai ekonomi Rp 180 triliun. Salah satu zona adalah Laut Arafura di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI 718.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi mengemukakan, sejauh ini pelaku industri yang sedang menjajaki sistem kontrak penangkapan ikan pada empat zona industri perikanan berjumlah 20 perusahaan. Kuota penangkapan yang diminta berkisar 4 juta ton. ”Kuota yang ditawarkan kepada setiap pelaku usaha perikanan minimal 100.000 ton per tahun,” kata Zaini, Kompas (19/2/2022).
Callin Leppuy, tokoh pemuda dari Kabupaten Kepulauan Aru, menyatakan, pihaknya menolak rencana perikanan terpadu itu. Menurut dia, kebijakan itu tidak berpihak pada masyarakat lokal yang selama ini mendambakan hidup sejahtera dari sektor perikanan. Kenyataan, hampir semua nelayan di Kepulauan Aru hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka belum diberdayakan untuk mengelola potensi perikanan setempat.
Ilustrasi: Kapal yang berlabuh di perairan sekitar Pulau Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, Rabu (1/4/2015).
Di sisi lain, selama bertahun-tahun, Laut Arafura dieksploitasi dan menjadi surga penangkapan ikan secara ilegal, tidak terlapor, dan tidak sesuai regulasi (illegal, unreported and unregulated/IUU fishing). Bahkan, tahun 2015, terbongkar praktik perbudakan nelayan di Pulau Benjina, Kepulauan Aru. ”Sayang sekali negara lebih berpihak pada pemilik modal,” ucapnya.
Menurut data KKP, WPP RI 718 memiliki potensi sumber daya ikan terbanyak dari 11 WPP RI di negara ini. Tahun 2021, jumlah produksi ikan dari WPP RI tersebut mencapai 1,7 juta ton. Jenis ikan yang ada di sana seperti pelagis, demersal, ikan karang, udang, lobster, dan cumi-cumi.
Oleh: FRANSISKUS PATI HERIN | Sumber: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2022/03/13/laut-arafura-dilelang-kepada-pemodal-warga-maluku-protes